Cerpen Motivasi dan Inspiratif yang Sedih Tema Pendidikan
5:01 PM
Edit

Didi dan
Bapak
Alvian
Rudystia
“Buang! Cepat tidur!” Bapak berteriak. Matanya memelotot
hampir keluar, aku tak bisa melakukan apa – apa lagi kalau sudah begini. Jika
itu perintah, aku harus menurut agar selamat. Meski umurku masih sebelas tahun,
Bapak akan menghajarku habis- habisan kalau masalah ini. Sungguh sebenarnya Bapak
tidak jahat, namun di saat- saat seperti ini entah bagaimana caranya bapak bisa
berubah seperti macan.
“Sudah Bapak bilang, kau tidak membutuhkan ini, Di. Hal yang
tidak penting, hanya buang- buang waktu!” Ucapnya lagi. Bapak merampas Koran dari tanganku. Napasnya
terengah- engah seraya merobek Koran dengan kasar hingga menjadi beberapa
bagian lalu melemparkannya ke tungku api di dekat kami.
Aku lebih memilih diam dan menatap Koran yang tidak butuh
waktu lama sudah hilang bersama kobaran api, dalam keadaan seperti ini memang
seharusnya biar Bapak saja yang bersuara.
“Tidak ada gunanya kau membaca. Yang harus kau lakukan
sekarang itu bekerja, Di. membantu orang tua, berdo’a, meminta kepada Tuhan.
Mau jadi apa kau kalau kerjanya hanya membaca? Mau jadi orang pintar? Halah.”
Bapak tertawa di akhir kalimatnya. Entah apa yang sedang Bapak tertawakan. Aku
merasa tidak ada hal lucu yang perlu ditertawakan. Aku malah ketakutan.
“Dengar, ya, Di,” Bapak mencondongkan tubuhnya ke arahku
seperti ingin membisikkan sesuatu “Bapak tidak ingin kamu menjadi pintar, Bapak
hanya ingin kau taat beragama, itu saja sudah cukup. Jangan mau jadi orang
pintar. Mereka hanya mementingkan perut sendiri, tak peduli sesama. Contoh saja
Ibumu, ibumu salah satu korban dari ketamakan orang- orang pintar. mereka akan
melakukan apa saja demi kepentingan dirinya sendiri. Jangan bercita- cita jadi
orang pintar, Di.” Ujarnya seraya
menepuk- nepuk bahuku. Suaranya tak lagi membentak.
Hatiku nelangsa saat Bapak menyebut nama Ibu. Bapak pernah
bercerita tentang penyebab kematian Ibu, Bapak juga bilang bahwa penyebab Ibu
tiada adalah orang pintar. Aku tidak tahu pasti bagaimana itu bisa terjadi.
Kalau tidak salah, nama yang sering Bapak sebut sebagai pembunuh Ibu adalah Pak
Politik. Entahlah, bagaimana wujud si Pak Politik itu, yang aku herankan
bagaimana bisa seorang pembunuh bisa disebut pintar padahal di buku- buku yang
pernah aku baca –tanpa sepengetahuan Bapak– orang pintar selalu disenangi
banyak orang, tidak ada tuh cerita orang pintar membunuh ibu- ibu.
“Tapi Didi kan hanya ingin membaca, Pak.” Jawabku ragu-
ragu. Berdo’a dalam hati semoga Bapak tak membentak lagi.
“Sholatmu, nak! Ibadahmu jauh lebih penting daripada
sekedar membaca buku karangan orang pintar. Biarlah nanti kamu jadi orang
biasa- biasa saja, yang penting tidak membunuh, Di. Orang- orang pintar seperti
tidak peduli dengan surganya sendiri. Masih mau menjadi orang pintar? Neraka, Di,
taruhannya.” Emosi Bapak kembali tersulut, aku bergidik ngeri saat Bapak
menyebut neraka. Setahuku dari guru ngaji, neraka itu tempatnya sangat panas,
disana orang- orang akan disiksa secara sadis. Tentunya aku selalu berdo’a
supaya tidak tinggal di sana.
“Sudah, sana tidur. Besok kamu harus ke pasar pagi- pagi sekali.
Kalau ada uang Bapak akan membelikanmu baju baru sebagai hadiah khatam qur’anmu.
Ingat! jangan sekali- kali membaca hal- hal yang tidak berguna buatan orang
pintar. Bapak akan mengurungmu kalau kau masih melakukannya.” Ucap Bapak. Lagi-
lagi itu sebuah perintah, aku harus
menurut jika ingin selamat.
“Dengar, Di?” Sentak Bapak mengguncang bahuku.
Aku ingin selamat, maka aku mengangguk. Kutinggalkan Bapak
menuju kasur. Aku merasakan tubuhku hangat dengan cepat, aku yakin ini bukan
karena baru saja dekat dengan tungku api, melainkan karena ada Bapak. Biasanya
aku harus berlama- lama di depan tungku hanya untuk menghangatkan tubuh. Namun
ternyata kemarahan Bapak jauh lebih panas dari tungku api yang biasa aku pakai.
Rumahku tidak sepenuhnya tertutup, tembok yang terbuat dari
anyaman bambu sudah banyak berlubang dan hanya ditambal dengan kain, tentu angin
masih dengan bebas bisa masuk ke dalam rumah sehingga membuatku kedinginan
setiap malam. Begitupun dengan kasur
yang aku tempati, tidak seempuk seperti kasur yang sering aku baca di buku dan
koran. Bapak membuatkanku kasur dari bambu. Bantal yang kupakaipun aku buat sendiri
dari karung goni yang hanya diisi kain perca hasil dari meminta ke Bu Ijah,
penjahit yang rumahnya tak jauh dari tempatku tinggal. Oh iya, mendengar nama
Bu Ijah aku jadi ingat sesuatu.
Tadi pagi aku bertemu Kak Ina lagi, anak Bu Ijah yang baru
seminggu datang dari Jakarta. Akhir- akhir ini aku jadi sering bermain ke
rumahnya. Di sana banyak buku yang bisa aku baca. Kak Ina sangat baik, Saat bapak masih di pasar, aku mencari alasan
untuk pulang agar bisa pergi ke rumah Kak Ina. Kadang Kak Ina akan memberiku
makan atau sekadar cemilan yang semakin membuatku betah membaca. Aku masih
tidak percaya dengan penilaian bapak terhadap orang pintar. Aku yakin Kak Ina
adalah orang pintar, Ia sering bercerita padaku tentang pengalamannya bersekolah
di luar negeri. Tapi Kak Ina sangat baik. Aku tidak pernah melihat kak Ina
berbuat jahat. Kak Ina tak pernah bercerita pernah membunuh ibu- ibu seperti
Pak Politik. Bahkan tadi siang Kak Ina memberiku buku untuk dibawa pulang. Aku sangat
senang namun juga bingung mengapa Bapak sangat membenci orang pintar.
***
Hari ini Bapak membangunkanku seperti biasa, menyuruhku
salat subuh. Sepertinya Bapak memang ingin pergi ke pasar pagi- pagi sekali
karena ini masih sangat pagi dan Bapak sudah siap dengan peralatan kerjanya.
“Bantu Bapak di pasar, ya, Di.” Tutur Bapak padaku.
Aku mengangguk seraya melipat sarung yang kupakai. Aku sudah
biasa menemani Bapak berjualan di pasar. Saat teman- teman di kampungku masih
merengek di atas kasur karena malas pergi sekolah, aku malah sudah siap
membantu Bapak bekerja. Aku sangat ingin sekolah, tapi Bapak enggan menuruti.
Bapak sangat benci pendidikan, Bapak akan memarahiku habis- habisan kalau
melihatku belajar atau sekadar membaca. Kejadian semalam tentu bukanlah yang
pertama kali.
***
Aku berlari kegirangan menuju rumah Kak Ina. Rasa lelah akibat
membantu Bapak berjualan seperti menguap begitu saja. Memang hanya saat- saat
seperti inilah aku bisa bebas dari pantauan Bapak, waktu istirahatku. Bapak
akan menyuruhku istirahat siang Karena aku harus ngaji setiap sore. Karena
hanya ini waktu yang aku punya, maka aku memanfaatkannya untuk bertemu Kak Ina,
membaca buku sepuasnya.
Aku mengetuk pintu rumah Kak Ina dengan napas terengah.
Bayangan tentang rak besar yang dipenuhi buku di dalam rumah Kak Ina sangat
jelas di kepalaku. Aku tak sabar ingin membacanya. Tak butuh waktu lama pintu
rumah terbuka dan seperti biasa Kak Ina menyambutku dengan senyuman. Kak Ina
menyuruhku masuk, aku sudah tak sabar dan berlari menuju rak buku yang berada
di ruang tamu. Kak Ina hanya tertawa dan menggeleng- geleng melihat tingkahku.
Aku seperti menemukan kebahagianku sendiri. Dan itu memang benar.
“Ayo, Kak, ajarin aku membaca buku ini. Apa? Kamus ya,
namanya?” Tanyaku antusias, mengambil salah satu buku yang menarik perhatianku.
Lagi- lagi Kak Ina tersenyum lebar, “Iya, itu kamus. Mudah
kok cara membacanya, Di.”
Kak Ina menjelaskan caranya kepadaku. Aku menyimak dengan
antusias. Lelahku benar- benar hilang.
Namun itu tak bertahan lama saat suara…
“Heh! Ngapain kamu di sini?!”
Tubuhku gemetar saat seorang yang tidak diharapkan
kedatangannya melangkah mendekati kami. Suara itu, menyalak penuh emosi, itu Bapak.
“Kurang ajar!” Bapak menampar pipi kiriku. Kak Ina yang
berada di dekatku reflek berteriak. Seperti tak menghiraukan teriakan Kak Ina,
bapak menarik lenganku dengan kasar membawaku keluar. Aku menangis, lagi- lagi
Bapak tidak peduli.
***
Sejak tadi siang Bapak tidak bicara lagi padaku. Sepulang
kerja Bapak hanya memberikan sepiring nasi tanpa menyapaku. Aku takut. Aku takut
Bapak benar- benar mengurungku di dalam rumah. Bagaimanapun aku masih ingin
membantu Bapak berjualan di pasar.
Pipi kiriku masih terasa nyeri, aku masih tidak menyangka Bapak
akan menamparku seperti tadi. Sepertinya apa yang aku lakukan sudah keterlaluan.
Bapak sangat baik, tak mungkin memukulku
kalau aku tidak melakukan kesalahan yang fatal. Mungkin ucapan Bapak tentang
orang pintar memang benar, bagaimana kalau Kak Ina hanya berpura- pura baik?
Bagaimana kalau kak Ina ternyata juga seorang pembunuh? Aku jadi tambah
bingung. Yang jelas mana mungkin bapak melarangku kalau itu tidak merugikanku?
Bapak taat beragama dan aku yakin Bapak lebih banyak tahu daripada aku.
Aku harus meminta maaf pada Bapak. Bagaimanapun Bapak
adalah satu- satunya keluarga yang aku punya. Aku tidak ingin kehilangan Bapak.
aku harus menuruti perintah Bapak, mempercayai perkataan Bapak, harus percaya
kalau orang pintar adalah pembunuh, orang pintar hanya memikirkan dirinya
sendiri, dan aku juga harus mengubah cita- citaku menjadi orang biasa, seperti
Bapak. Orang biasa yang taat beribadah. Bukankah itu juga baik? Walaupun aku
masih penasaran ada apa sebenarnya dengan orang pintar.
Aku harus berhenti berbohong pada Bapak. Kuambil buku
pemberian kak Ina yang ku simpan dalam bantal. Aku akan memberikan buku ini
pada bapak dan meminta maaf. Meski rasa penasaranku tentang orang pintar masih
belum terjawab, aku memutuskan untuk percaya pada Bapak saja. Orang pintar itu
jahat. Jangan bercita- cita menjadi orang pintar.
Tentu aku tak berani untuk mengatakannya langsung pada
Bapak, aku takut Bapak akan mengamuk saat melihatku memegang buku lagi dan
sadar telah dibohongi anaknya sendiri. Aku tidak ingin dipukul lagi, itu sangat
sakit. Aku menyobek selebaran kosong dari buku pemberian Kak Ina. Biar kutulis
permintaan maafku untuk Bapak.
Setelah selesai menulis, aku mencari Bapak. Bapak sedang
duduk di teras, dengan tubuh gemetar dan ketakutan aku berjalan ke arah Bapak.
Merapalkan do’a berkali- kali dalam hati. Semoga
Bapak tidak ngamuk.. semoga Bapak tidak ngamuk.. semoga Bapak tidak ngamuk...
Belum sampai di teras, Bapak sudah menyadari keberadaanku
lantas membuatku semakin ketakutan saat mata Bapak menyala melihat aku membawa
buku. Sebelum Bapak kembali mengamuk aku buru- buru memberikan surat yang
kutulis dan meletakkan buku di meja. Bapak mengambil suratku hendak membacanya.
Tubuhku masih gemetar karena ketakutan. Bapak terdiam sambil membaca suratku,
aku sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi. Sekalipun bapak akan mengamuk
lagi saat menyadari aku sudah berani membohongi dirinya. Namun ada sesuatu yang
berbeda dari tatapan bapak. Bapak tiba- tiba memelukku setelah membaca surat di
tangannya. Aku kaget dan bingung.
“Besok Bapak antar kamu ke sekolah, Di...” ucap Bapak tiba-
tiba. Bapak menangis dan masih memelukku dengan erat. Mengantar ke sekolah? Apa
maksud Bapak? Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Aku sungguh tidak bisa mengerti dengan jalan pikiran orang
tua, terutama Bapak. kadang Bapak akan tertawa bahkan saat tidak ada hal yang
lucu sekalipun. Dan sekarang bapak tiba- tiba menangis dan lagi aku tak tahu apa
yang sedang ditangisi. Apa aku melakukan kesalahan dalam surat itu? Entahlah, aku
jadi semakin bingung. Mungkin lain kali aku harus mencari tahu apa itu ‘orang tua’
seperti mencari tahu apa arti ‘orang pintar’. Semoga Bapak tidak melarangku
lagi, karena aku yakin menjadi orang tua adalah sesuatu yang baik, hanya saja
aku masih tidak mengerti bagaimana cara mereka berpikir.
Kira- kira begini isi suratku…
Didi ingin minta maaf, Pak. Maaf karena
sering berbohong kepada Bapak. Sebenarnya saat Bapak menyuruh istirahat, Didi
tidak menurut. Didi berbohong untuk pergi membaca buku di rumah Kak Ina.
Tapi jangan khawatir, Didi baik- baik
saja kok, pak. Walaupun pintar, Kak Ina tak seperti Pak Politik yang membunuh Ibu.
Kak Ina sangat baik, kadang Didi diberi makan di rumahnya. Kak Ina juga pernah
mengajariku ngaji kok, pak. Pokoknya baik deh.
Oh iya sebenarnya Didi tidak tahu kalau
membaca itu bikin orang jadi pintar, awalnya Didi membaca hanya karena bosan
saja di rumah. Ingin bermain tapi teman- teman masih belum pulang dari
sekolahnya. Makanya Didi pengen sekolah,
bukan berarti Didi bercita- cita ingin menjadi pembunuh, Pak. Didi hanya pernah
membayangkan bagaimana senangnya bisa memiliki banyak teman.
Tapi tak apalah, Didi percaya Bapak lebih
tahu apa yang terbaik untuk Didi. Ini buku pemberian kak Ina aku kasih ke
bapak. maafkan Didi Karena sudah diam- diam menyimpan buku dalam bantal tanpa
sepengetahuan Bapak. Didi janji tidak akan membaca lagi, Bapak jangan marah,
Didi takut. mulai sekarang Didi akan percaya kalau orang pintar itu jahat, Didi
tidak ingin menjadi orang pintar, Didi janji tidak akan merengek minta sekolah
lagi. Maaf ya, Pak. Jangan tinggalkan
Didi sendirian, Didi takut. Didi sayang Bapak. biarlah Didi tak sekolah, asal
Didi masih bersama Bapak.
~Selesai~